Sejarah Desa Kolam
Desa Kolam atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Kampung Kolam merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan
Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Penduduk Kampung Kolam terdiri dari
berbagai macam suku. Suku Batak, Jawa, Melayu, dan Karo merupakan penduduk yang
mendiami daerah Kampung Kolam. Mayoritas penduduk Kampung Kolam adalah suku
Jawa. Sebagian besar dari mereka bermata pencaharian sebagai petani yang
menggarap tanah Perkebunan Nusantara (PTPN) IX , namun selain itu ada juga yang
bekerja sebagai pedagang, buruh, karyawan swasta, Pegawai Negeri Sipil dan lain
sebagainya. Banyaknya suku Jawa yang mendiami Kampung Kolam tidak terlepas dari
dibukanya perkebunan tembakau di Deli yang dibuka oleh perusahaan swasta asing
yang bekerja sama dengan Kesultanan Deli. Mereka datang sebagai tenaga kerja
kuli di perkebunan tembakau.
Istilah kuli merupakan istilah khas dari
colonial yang bermakna sangat merendahkan para tenaga kerja yang memang sesuai
dengan penindasan yang mereka terima. Perkebunan tembakau itu berawal dari
seorang Arab Surabaya yang bernama Said Abdullah Bilsagih, yang merupakan ipar
dari Sultan Mahmud Perkasa Alam mengajak beberapa pedagang – pedagang Belanda
di Jawa dalam tahun 1863 untuk menanam tembakau di Deli, sehingga tuan – tuan J.
Nienhuys, Van Der Valk dan Eliot datang ke Deli pada tanggal 7-7-1863. Setelah
J. Nienhuys mengirimkan contoh daun tembakau dari Deli ke Rotherdam pada bulan
maret 1864, ternyata hasil perkebunan tembakau di Deli menghasilkan daun
tembakau berkualitas tinggi dan mendapat sambutan hangat di pasaran Eropa
karena mutunya yang sangat baik sebagai pembungkus cerutu. Sejak saat itu maka
dibukalah perkebunan – perkebunan tembakau di daerah Martubung, Sunggal, Sungai
Beras dan Kelupang. Lukman Sinar (1996:25-26). Pada tahun 1866 dibukalah
maskapai De Deli Maatschappil perusahaan perkebunan tembakau yang didirikan
oleh Jansen, P.W Clemen dan Nienhuys serta Cremer. Awalnya, para pekerja di
perkebunan tebakau adalah kuli China. Kuli-kuli perkebunan etnis China umunya berasal
dari Swatow (Tiongkok) atau Singapura atau pun orang – orang India Tamil
(keling) yang di datangkan dari Penang.
Pada awalnya, para pekebun mendapatkan buruh
Tionghoa di Singapura, Pinang, atau bahkan dari Deli sendiri dari perantara di
daerah selat Malaka yang di bayar per kuli. Kegiatan mengekspor tenaga kerja
dilakukan para tuan kebun karena tidak ada penduduk lokal yang mau bekerja di
perkebunan milik perusahaan Belanda. Hal itu lah yang membuat orang – orang
Melayu dan Karo dianggap sebagi suku pemalas. Kegiatan ekspor tenaga kerja dari
luar negeri ini mulai mengalam kesulitan. China mempersulit kedatangan buruh
China ke Deli juga pemerintah Inggris yang memberikan syrat - syarat yang berat
untuk tingkat kesejahteraan kuli keling, maka para tuan –tuan kebun Belanda
mulai melirik suku Jawa sebagai tenaga kerja.
Pada tahun 1875 Deli Maatschppij telah
mendatangkan tenaga kerja orang Jawa asal bagelen. Sebelum mengambil tenaga
kerja dari Jawa ternyata sejak tahun 1870 sudah ada sekitar 150 kuli Jawa yang
datang atas kehendak sendiri dari Semarang untuk bekerja di di perkebunan Deli,
masih berjumlah beberapa ratus sampai tahun 1890 ketika perkebunan mulai
berubah tujuannya. Beralihnya fungsi perkebunan yang awalnya perkebunan
tembakau menjadi perkebunan kopi, karet, teh dan kelapa sawit pada tahun 1900
yang hanya mempekerjakan buruh Jawa. Sehingga pada tahun 1911 sudah terdapat
lonjakkan besar terhadap jumlah kuli kontrak asal pulau Jawa yang bekerja di
perkebunan – perkebunan milik swasta asing . Sebanyak lebih dari 50.000 kuli
kontrak di datangkan dari Jawa Tengah untuk bekerja di perkebunan karet. Peret
(2010 : 39). Imigrasi jawa cukup besar. Tahun 1951 dan 1952 terdapat
hampir 25.000 orang yang datang untuk bekerja diperkebunan, diikuti 41.000
anggota keluarga. Jumlah pendatang per tahun itu kemudian berkurang hingga
mencapai beberapa ratus ribu saja, dan naik lagi antara tahun 1963 dan 1965
sampai 55.000. Peret (2010:37).
Kedatangan suku Jawa yang begitu banyak
disamping bertujuan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan diantaranya ada juga
yang datang dengan kemauan sendiri untuk bekerja pada para pedagang-pedagang
Tionghoa yang jumlahnya mulai banyak di Sumatera Timur. Para imigran Jawa itu
menetap di daerah-daerah antara lahan perkebunan dan pemukiman-pemukiman atau
kampung orang Melayu. Sejak kedatangan kuli kontrak asal Jawa ke Smatera Timur
pada masa perkebunan sebagian dari mereka yang pulang saat habis kontrak dengan
perkebunan tetapi ada juga yang menetap dan beranak cucu di tanah perantauannya.
Sehingga lahirlah istilah Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma). Suku Jawa
kini menjadi salah satu suku mayoritas di Medan dan sekitarnya. Mereka banyak
yang tinggal di daerah kota Medan maupun daerah – daerah pinggirian kota yang
dulunya merupakan bekas lahan perkebunan seperti halnya daerah Kampung Kolam.
Awalnya orang – orang Jawa di Kampung Kolam sebagian besar beragama Islam dan
masih melaksanakan kepercayaan turun temurun yang mereka bawa dari daerah
asalnya yaitu Pulau Jawa. Kepercayaan yang mereka anut itu sering disebut
sebagai Kejawen ada juga yang menganut Iman Hak (IH) yaitu suatu kepercayaan
terhadap Sang Hyang Widi sebagai pemilik dan penguasa alam semesta. Iman Hak
ini hampir sama dengan kepercayaan orang Batak kepada Ompung Mulajadi Na Bolon.
Namun, perubahan besar dari segi agama terjadi pada orang – orang Jawa ini pada
tahun 1965 setelah terbongkarnya peristiwa Gerakan 30 September atau yang
sering disebut G 30 S di Jakarta. Peristiwa yang membunuh ke-tujuh Jendral
Angkatan Darat itu disebut - sebut didalangi oleh Partai Komunis Indonesia
(PKI). Untuk membrantas gerakan partai haluan kiri itu Mayor Jendral Soeharto
yang pada saat itu menjabat Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(KOSTRAT) mengundang dukungan masyarakat luas untuk membrantas PKI. Reaksi
masyarakat Indonesia tidak terkecuali di Medan dan sekitarnya yang pada saat
itu dalam keadaan kacau menuntut agar orang - orang yang terlibat dalam PKI
untuk ditangkap dan diadili. Kemarahan rakyat terhadap PKI dituangkan dalam Tri
Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura) yang berisikan:
1. Pembubaran PKI
2. Pembersihan Kabinet dari Unsur-unsur
G30S/PKI
3. Penurunan harga/perbaikan ekonomi
Gelombang amarah masyarakat mulai bergerak
menyisir daerah – daerah yang disinyalir menjadi sarang PKI di sekitar Kota
Medan. Masyarakat yang ingin membrantas PKI melakukan penyerangan ke daerah
yang dianggap terdapat oknum – oknum PKI. Di Sumatera Utara massa rakyat juga
turut melakukan aksi pengganyangan PKI dan ormas-ormasnya. Hal menimbulkan
bentrokan dan kerusuhan – kerusuhan yang mengakibatkan pertumpahan darah di
berbagai daerah termasuk bagian tenggara Sumatera Utara. Kampung Kolam yang
merupakan daerah perkebunan PTPN IX disinyalir menjadi tempat berkembangnya PKI
dan organisasinya. Karena PKI dinilai sudah memasukkan ajaran dan idiologinya
kepada petani-petani di daerah perkebunan asal Jawa yang masih buta huruf serta
berdirinya organisasi Badan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi
bentukan PKI, hal itulah yang membuat Kampung Kolam dianggap sebagai basis PKI
di daerah Medan masa itu yang disinyalir banyak terdapat angota PKI.
Dalam penumpasan PKI yang digalang Organisasi
Pemuda Panca Sila (PP) dan juga dibantu elemen masyarakat temasuk Himpunan
Mahasiswa Indonesia (HMI) masuk dan menyerbu Kampung Kolam pada bulan Oktober
1965. Penyerangan itu mengalami kegagalan yang mengakibatkankan tewasnya 2
orang dari kubu masyarakat yang ingin menyerang Kampung Kolam yakni M. Jacob
dari anggota PP dan Anadlin Prawira. Jasad keduanya di buang ke dalam parit di
daerah Kampung Kolam. Hal itu membuat amarah masyarakat yang ingin membersihkan
PKI semakin membara dan kemudian melakukan serangan balasan ke Kampung Kolam.
Serangan yang dilakukan oleh gabungan masyarakat ini menimbulkan rasa takut yang
luar biasa bagi penduduk Kampung Kolam. Rasa takut akan ditangkap sebagai
anggota partai terlarang yang “tidak ber-Tuhan” (atheisme) membuat masyarakat
Kampung Kolam mau berpindah dan meninggalkan kepercayaan sebelumnya dan memeluk
agama Kristen.
Setelah penyerangan oleh anggota masyarakat
yang ingin membrantas PKI di Kampung Kolam. Orang-orang Jawa di Kampung Kolam
mulai diliputi rasa ketakutan, terlebih bagi mereka yang masih menjalankan
kepercayaan Kejawen dan Iman Hak. Mereka takut disangka sebagai anggota PKI
karena dianggap sebagai masyarakat yang tidak beragama sebagaimana agama yang
sah di Indonesia pada masa itu dan kemudian mereka memilih agama Kristen
sebagai agama dan kepercayaan mereka yang baru. Pada tahun 1966 lebih dari 600
orang Jawa Muslim dan penganut Iman Hak dan Kejawen penduduk Kampung Kolam dan
sekitarnya ikut dalam pembabtisan massal yang dilakukan oleh Pendeta Bahara
Lumban Tobing seorang pendeta dari Zending HKBP.
Sejak pembabtisan massal itu banyak masyarakat
kampong kolam suku Jawa yang beragama Kristen. Banyaknya pemeluk agama Kristen
dari suku Jawa di Kampung Kolam membuat mereka berinisiatif untuk mendirikan
rumah atau tempat. beribadah yang disebut gereja yang dapat menjadi sarana bagi
mereka dalam melakukan ibadah dan kepercayaannya serta bersekutu sebagai umat
Kristen. Mereka secara swadaya membangun Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Kampung
Kolam. Gereja yang kemudian diberi nama Gereja Kristen Jawa Sehati yang
bertujuan sebagai sarana bagi suku Jawa yang baru memeluk agama Kristen di
Kampung Kolam dan dan sekitarnya untuk beribadah secara iman dan kepercayaan
Kristen.
Tidak ada komentar